JAKARTA – Kementerian Perdagangan optimistis bisnis perusahaan penjualan
langsung terus menggeliat, seiiring dengan makin banyaknya pebisnis multi level
marketing yang mengajukan izin berusaha di bidang tersebut.
Data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang
mengeluarkan surat izin usaha penjualan langsung (SIUPL), tercatat 80
perusahaan modal asing (PMA) dan 92 perusahaan penanaman modal dalam negeri
(PMDN) telah memiliki izin tersebut selama 2011 – Desember 2017.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan jumlah perusahaan yang
mendapat SIUPL pada 2011 baru sebanyak 50 perusahaan.
“Terdapat peningkatan sebesar 20% jumlah perusahaan MLM dengan
modal asing yang telah memilik SIUPL pada 2017,” kata Tjahya kepada Bisnis,
Senin (22/1/2018).
Kemendag menilai bisnis multi level marketing (MLM) memiliki
prospek besar di dalam negeri, seiring dengan jumlah penduduk Indonesia yang
besar .
Pada umumnya, produk yang dijual dengan sistem penjualan langsung
masih didominasi oleh produk suplemen kesehatan dan kosmetik atau perawatan
tubuh. Adapun perusahaan asing yang terkenal menjual produk tersebut seperti
K-Link, Herbalife, Nu-skin dan Oriflame.
Tjahya mengemukakan tingginya ketertarikan investor untuk
berbisnis usaha langsung membuat pemerintah lebih berhati-hati dalam
mengeluarkan izin, sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan model bisnis
melenceng menjadi skema piramida.
Adapun upaya pemerintah untuk menghindari kemungkinan tersebut,
adalah dengan mewjibkan perusahaan melakukan presentasi program pemasaran
(marketing plan) dan kode etik sebelum dberikan SIUPL.
Di samping itu pemerintah juga bekerjasama dengan Satgas Waspada
Investasi dalam melakukan pengawasan terhadap praktik money game atau investasi
bodong yang terdiri dari tujuh perwakilan kementerian dan lembaga otoritas jasa
keuangan (OJK).
Instansi yang terlibat yakni Kementerian Perdagangan, Kepolisian
RI, Kejaksaan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian
Komunikasi dan Informatika serta Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Di sisi lain, pemerintah mengaku belum adanya peraturan yang
mewajibkan peningkatan penggunaan produk dalam negeri sebagaimana waralaba. Alhasil
membuat pelaku usaha masih memasarkan produk impor. Hanya sebagian kecil yang
memasarkan produk dalam negeri.
“Diperlukan kreativitas dalam mengembangkan inovasi berusaha yang
akan membuka akses pasar yang lebih uas bagi produk dalam negeri. Tantangan
inilah yang harus di jawab oleh perlaku usaha penjualan langsung,” sebut
Tjahya.
Sementara itu, Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI)
mengungkapkan minat terhadap industri penjualan langsung di Indonesia masih
tinggi meskipun pemberian lisensi terbilang ketat.
Djoko Hartanto Komara, Ketua Umum APLI, mengatakan antusiasme
terlihat dari banyaknya perusahaan yang mendaftar untuk mendapatkan SIUPL.
"Setiap minggu kami presentasi untuk proses license [izin
MLM], tiga perusahaan setiap minggu dan sudah full book sampai dua bulan ke
depan,” jelasnya, kepada Bisnis, Senin (22/1).
Djoko mengungkapkan saat ini terindikasi ada sekitar 160
perusahaan yang menjalankan praktik tanpa SIUPL dan masih didominasi perusahaan
lokal.
APLI sendiri menerapkan syarat memiliki SIUPL jika ingin masuk
menjadi anggota asosiasi.
Djoko mengungkapkan pelaku usaha tidak merasa kesulitan terkait
proses memperoleh SIUPL. Menurutnya, langkah pemerintah yang berhati-hati
meskipun minat tinggi ini juga penting untuk mencegah penyalahgunaan.
“Industri penjualan langsung memang mendapatkan perhatian khusus
karena sering disalahgunakan menjadi kedok skema piramida, sehingga regulasi
yang telah dibuat sudah benar,” katanya.
Dia menambahkan memang diperlukan upaya yang terus-menerus lewat
sosialisasi agar yang berminat untuk membuka usaha penjualan langsung ini dapat
membuat rencana pemasaran yang tidak mengarah ke skema piramida.
APLI adalah suatu organisasi sebagai wadah berhimpun perusahaan
penjualan langsung atau direct selling termasuk perusahaan yang menjalankan
penjualan dengan sistem berjenjang atau multi level marketing di Indonesia.
APLI mengungkapkan aturan yang memayungi industri direct selling
(penjualan langsung) saat ini yaitu Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang
Perdagangan. Di dalamnya terdapat Pasal 9 yang berbunyi Pelaku Usaha Distribusi
dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan barang.
Djoko mengatakan meskipun sudah ada Undang-Undang No.7 yang
melarang skema piramida, peraturan turunannya masih belum di revisi, dimana
saat ini masih Peraturan Menteri Perdagangan No. 32 tahun 2008.
“Seharusnya peraturan ini direvisi untuk memenuhi, sesuai dengan
nafasnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2014. Sebenarnya peraturannya hanya
di-upgrade, tidak begitu besar perubahannya,” jelasnya.
APLI berharap aturan ini dapat segera direvisi dengan menambahkan
penjelasan lebih mendalam terkait ciri-ciri skema piramida yang dilarang.
“Sekarang ini ciri-cirinya belum kelihatan, jadi orang-orang belum
bisa membedakan mana money game, mana bukan. Jadi kalau ciri-ciri itu datang,
akan lebih efektif dalam melindungi masyarakat Indonesia,” katanya.
Djoko menjelaskan untuk membedakan mana skema piramida dan
penjualan langsung atau direct selling yang benar terdapat beberapa poin
penting yaitu asal sumber dana untuk membayar bonus, syarat mendatangkan bonus.
Dia mengatakan jika direct selling yang benar maka sumber dana
bonus berasal dari profit produk yang dijual sedangkan money game atau skema
piramida, sumber dana untuk bonus berasal dari orang baru.
“Jadi bukan menjual produk tetapi menjual keanggotaan,” katanya.
Djoko menambahkan hal yang paling krusial adalah dampak pada bonus
jika kegiatan rekrutmen dihentikan. Dia mengatakan jika direct selling yang
benar maka bonus akan mengalir selama produk terjual, tetapi jika money game,
begitu rekruitmen dihentikan, otomatis sumber dana berhenti dan bonus berhenti.
“Ada in between antara black and white, abu-abu, yang kami sebut
multi level marketing abu-abu adalah saat rekrutmen dihentikan, bonus akan
turun lebih dari 60%, itu yang bahaya,” ujarnya.
Djoko mengatakan hal ini juga akan mempermudah dalam penanganan
hukum jika nantinya ada pelanggaran. Namun, hingga saat ini, belum dikeluarkan
aturan yang baru.
APLI telah berupaya sejak 2014 agar Peraturan Menteri Perdagangan
No. 32 tahun 2008 ini dapat segera direvisi dengan menambahkan ciri-ciri skema
piramida ke dalamnya.
“Sekarang ini belum ada perkembangan [terkait kapan dikeluarkan
revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 32 tahun 2008],” ujarnya. (Rayful
Mudassir /Agne Yasa)*****
NB: Artikel di atas diterbitkan ulang, dicopy dari sumber ini.
Drs. Stefan Sikone, MM., Penulis , Praktisi Trading Forex dan Bisnis Online sejak tahun 2007., kini mengajar Prakarya dan Kewirausahaan di SMA Negeri 1 Tengaran -Kabupaten Semarang-Jawa Tengah