DRS. STEFAN SIKONE, MM*
MARIA DOLVIANTI BORA**
A.PENDAHULUAN
Dalam menghadapi persaingan antar bangsa yang sedemikian kompetitif, strategi pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia terutama generasi muda perlu didesain kembali. Hal ini penting dilakukan karena perubahan lingkungan global menuntut kesiapan sumber daya manusia untuk menyiasati dan mengantisipasinya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana strategi mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan berwawasan global?
Tulisan ini akan membahas berbagai strategi yang dapat digunakan dalam mempersiapkan sumber daya manusia terutama generasi muda untuk memiliki kompetensi dan berwawasan global untuk mencapai keunggulan kompetitif yang diharapkan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, pada hakekatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa berbagai persoalan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia disatu sisi perubahan itu juga telah membawa manusia ke alam era persaingan global yang semakin ketat.
Agar mampu berperan dalam persaingan global, sebagai bangsa yang besar hendaknya terus mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia. Oleh karena itu peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan. Hal ini akan memberikan sumbangsih yang besar bagi kesejahteraan bangsa, dan di sisi yang lain bangsa kita pun unggul dalam persaingan di dunia internasional.
B.PROBLEMATIKA DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Membahas tentang mutu sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan mutu sumber daya manusia. Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan mutu sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan mutu sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih bermutu, antara lain melalui:
a. Perubahan dan penyempurnaan kurikulum pendidikan nasional
b. Undang-undang dan peraturan mengenai pendidikan
c. Peningkatan angka partisipasi belajar anak usia sekolah pada semua jenjang sekolah
d. Pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi
e. Perbaikan sarana pendidikan
f. Pengembangan dan pengadaan materi ajar
g. Pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan
h. Penambahan alokasi anggaran pendidikan
i. Konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah, dll.
Pertanyaannya adalah apakah kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini cukup visioner dan mampu menghadapi persaingan global? Pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Ada beberapa problematika pendidikan nasional yang patut dicatat, antara lain :
a. Dalam rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan nasional, namun realitas menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
b.Paradigma keberhasilan baru dapat dikatakan berhasil jika memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetetitif.
c. Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai merintis masa depan mengacu pada prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan masa depan.
d. Rendahnya kualitas kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru dan kependidikan, serta karier profesionanya tidak jelas.
e.Hubungan pengelolaan pendidikan antara pemerintah sebagai fasilitator dan pihak sekolah sebagai yang difasilitasi amat kompleks dan birokratis.
f.Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah menengah dan kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah.
Paling tidak dapat dijelaskan dari aspek strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented yang lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Hal tersebut memperlihatkan faktor input pendidikan tidak cukup menyelesaikan masalah mutu pendidikan, tetapi harus didukung oleh faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak namun harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan. Juga perlu diperhatikan bahwa sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan memiliki berbagai masalah yang komplek. Seperti keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam pula; kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya.
Menyikapi hal ini sekolah harus dinamis dan kreatif melaksanakan perannya dalam mengupayakan peningkatan mutu pendidikan. Semuanya dapat terlaksana jika sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Namun demikian, agar mutu tetap terjaga dan proses peningkatan mutu tetap terkontrol, diperlukan adanya standar mutu pendidikan yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu (adanya benchmarking).
Pimpinan pendidikan harus memiliki kemampuan merespon dan mengapresiasikan berbagai faktor berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan. Berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain : Berbagai variasi kebutuhan siswa akan belajar, beragam kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesional, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya, juga harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan bermutu bagi anak, serta tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai bagian dari desentralisasi pendidikan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan dengan menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini dikenal sebagai teori effective school yang memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979).
Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain;
a. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
b. Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai
c. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
d. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi
e. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK
f.Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan
g. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/ masyarakat.
Pengembangan konsep manajemen itu didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Konsep ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid.
C. STRATEGI PENGELOLAAN SEKOLAH YANG BAIK
1. Menciptakan suatu budaya sekolah yang efektif
Beberapa unsur penting dalam budaya menurut [Clifford] Greetz, adalah norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, kebiasaan, adat, upacara dan mitos-mitos yang diberi makna oleh sekelompok orang tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai yang ditunjukkan dalam rencana bahan pengajaran di kelas, cara kepala sekolah mengadakan pertemuan bersama staf, dan hiasan yang dibuat di dinding merupkan bagian integral dari suatu budaya sekolah.
Budaya sekolah pada umumnya bukan merupakan hal yang dapat diamati. Hal tersebut dapat dilihat dari jadwal kelas dan kegiatan rutin, seperti upacara Senin pagi, dapat pula ditinjau dari bentuk bangun sekolah dan lain-lain. Yang tidak jelas di sini adalah maksud atau nilai-nilai dibalik yang diamati. Sebagai contoh, kegiatan rutin yang menekankan pada nilai keberaturan atau siswa dan guru tiba di sekolah tepat pada waktunya merupakan nilai sekolah yag merupakan kegiatan sekolah yang serius dan penting. Nilai dan kepercayaan yang sehat akan mendukung pembelajaran siswa, sedangkan nilai dan kepercayaan yang tidak sehat tidak akan mendukung pembelajaran.
Sembilan ciri berikut menjelaskan atribut-atribut yang dimiliki sekolah yang efektif, antara lain :
Atribut 1. Visi yang didefinisikan dengan baik. Visi ini dibuat oleh seluruh pemegang peran dan merupakan arah bagi seluruh staf sekolah, siswa, orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat (pesan pokok : kita mempunyai maksud).
Atribut 2. Komitmen terhadap visi. Seluruh pemegang peranan percaya dengan visi dan keinginan yang dapat dibuat menjadi kenyataan. (pesan pokok : kita semua memiliki visi yang sama bagi generasi muda.
Atribut 3. Kehidupan sekolah yang terorganisir dengan baik. Peraturan dan kebijakan diciptakan, dipaparkan, dan dimengerti. Jadwal rutin dibentuk untuk kegiatan-kegiatan, program dan masalah administrasi sekolah. (pesan pokok : organisasi sekolah memerlukan aturan).
Atribut 4. Mendorong kreativitas. Seluruh pemegang peran didorong untuk mengembangkan idenya dalam rangka meningkatkan program sekolah dan kehidupan sekolah. (pesan pokok : meninjau, mengambil resiko).
Atribut 5. Komunikasi yang sehat. Komunikasi terbuka dan rutin antara pemegang peranan, dengan pemahaman resmi dan tidak resmi. (pesan pokok : kita dapat saling percaya dan bersama-sama membuat visi sekolah).
Atribut 6. Jaringan luas yang baik. Sekolah mengembangkan jaringan hubungan masyarakat. Hubungan dengan polisi, lembaga keagamaan, perusahaan dan pemerintah setempat. (pesan pokok : kita merupakan bagian dari masyarakat).
Atribut 7. Sumber pembelajaran yang luas. Sekolah mengembangkan sumber-sumber belajar yang dapat digunakan oleh para guru dan siswa. Berbagai cara telah ditemukan untuk mengembangkan sumber-sumber pembelajaran. (pesan pokok : kita harus memiliki komitmen terhadap pembelajaran siswa).
Atribut 8. Toleransi terhadap berbagai cara dalam pemecahan masalah. Sekolah mencari berbagai alternatif untuk pemecahan masalah melalui para pemegang peranan. (pesan pokok : keinginan untuk mendengarkan kemudian mengembangkan pemecahan).
Atribut 9. Menetapkan batas waktu. Batas waktu dibuat untuk program dan kegiatan khusus. Hal ini akan membantu dalam perencanaan dan dimaksudkan untuk memotivasi staf. Jika kita ingin mencapai tujuan, kita harus melaksanakan dan menyelesaikan program. (pesan pokok : kegiatan yang terencana merupakan hal penting dalam mendukung pendidikan).
Penelitian dan pengembangan yang diadakan dalam model pengembangan sekolah dan studi sekolah efektif telah menyarankan tiga nilai yang sangat penting :
1). kehadiran, 2) sikap dan 3) prestasi. Pada saat mengkaji budaya sekolah, ketiga nilai ini merupakan ciri-ciri penting dalam memahami mutu sekolah.
Kehadiran : ini merupakan bagian dari masalah disiplin, tetapi juga menyampaikan pesan (secara implisit) bahwa pendidikan harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Kepala sekolah, para guru dan staf perlu menjadi suatu contoh. Orang tua merupakan peran pendukung yang sangat penting dan membantu membentuk nilai tersebut. Pada tingkat tertentu, pesan yang disampaikan adalah bahwa orang dewasa peduli terhadap para siswa dan menginginkan agar mereka berhasil.
Sikap : Para siswa akan belajar dari guru mengenai bagaimana mengatasi keadaan yang berbeda dan sulit. Para guru dan staf sekolah yang berperilaku kurang terpuji akan memberi kesan bahwa perilaku yang kurang terpuji tersebut merupakan hal yang dapat diterima. Kepala sekolah, para guru dan staf perlu mengatasi masalah pribadi dan mengembangkan komunikasi yang baik dan peran mendukung antar mereka dengan para siswa. Dengan memberikan contoh yang baik, hal itu akan menunjukkan sikap yang dapat diterima.
Prestasi : Sekolah yang memiliki harapan tinggi terhadap prestasi siswa, akan menghasilkan banyak siswa yang berhasil. Demikian pula sebaliknya. Seluruh staf, kepala sekolah, para guru, staf administrasi dan penjaga sekolah harus melihat prestasi belajar sebagai hasil pendidikan yang angat penting. Semua orang dewasa berperan penting dalam membentuk opini siswa dan pencapaian prestasi belajar. Dorongan, insentif dan penghargaan akan membantunya dalam memotivasi prestasi para siswa untuk mencapainya. Para guru dan orang tua yang menekankan pada pembelajaran dan pencapaian prestasi, memberikan kesan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Sebagai lembaga pembelajaran satu-satunya ini merupakan salah satu nilai yang sangat penting untuk diperhatikan dan dipelajari oleh siswa.
2. Melaksanakan Perubahan Secara Baik
Pihak manajemen sering disebut agen perubahan (change agent) karena harus sering memprakarsai perubahan. Perubahan yang diprakarsai oleh para pemimpin adalah untuk menyesuaikan sekolah terhadap lingkungan yang juga cepat berubah. Bahkan Frederick R. Kappel penulis buku Vitality in Business Enterprise mengatakan bahwa para manajer harus mempunyai pandangan ke depan (foresight), mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan itu.
Menurut Kappel hal itu adalah suatu soal etika dan kewajiban. Jika kegagalan pembelajaran terjadi karena pimpinan tidak berusaha melihat ke depan dan mempersiapkan diri, kegagalan etika (ethical failure) telah terjadi.
Kesadaran akan perlunya perubahan seringkali sulit berkembang atau terlambat di dalam organisasi sekolah dengan birokrasi yang kompleks dengan tingkatan-tingkatan yang banyak.
Dalam menghadapi perubahan lingkungan ada dua jenis gaya manajemen yaitu : manajemen reaktif dan manajemen antisipatif.
1. Manajemen Reaktif : pendekatan reaktif ini adalah menunggu sampai suatu masalah mencapai tingkat yang serius dan tidak dapat dikesampingkan lagi. Jika belum terlalu parah masalah itu dikesampingkan dulu dan melaksanakan pekerjaan secara rutin. Jika masalah sudah tidak dapat disingkirkan tindakan-tindakan korektif itu biasanya bersifat jangka pendek, penyesuaian menghadapi krisis seperti pergantian personel, reorganisasi darurat, mengurangi pegawai dan sebagainya.
2. Manajemen antisipatif : pendekatan manajemen ini adalah membuat analisis tentang kemungkinan perubahan lingkungan di masa depan kedmuian mengintroduksir perubahan yang perlu sebelum lingkungan itu sendiri berubah.
Tentu dengan laju perubahan lingkungan yang cepat, pendekatan manajemen antisipatif akan lebih baik tetapi memerlukan pekerjaan tambahan untuk membuat proyeksi masa depan. Mungkin analisis-analisis harus khusus dipekerjakan yang berarti tambaha biaya. Akan tetapi bagi organisasi besar apalagi yang bertaraf internasional mau tidak mau harus diadakan.
Ada tiga kriteria yang penting sebagai indikator dari kefektifan sekolah, yaitu :
1. Kemampuan penyesuaian (adaptability) kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan bereaksi dengan keluwesan terhadap tuntutan-tuntuan perubahan lingkungan.
2. Pengenalan identitas / kepribadian (a sense of identity) pengetahuan dan penghayatan dari pihak organisasi apa yang menjadi cita-cita, tujuan organisasi dan apa yang harus diperbuatnya.
3. Kapasitas untuk menguji kenyataan hidup (capacity to test reality) kemampuan mencari, mengamati dan secara benar menafsirkan bagian-bagian nyata dari lingkungan hidupnya.
Perencanaan perubahan dapat dibagi dalam tiga strategi dasar, yaitu : strategi rasional empirik, strategi reedukatif-normatif dan strategi tekanan kekuasaan (R. Chin & K.D. Benne, General Strategies for Effecting Changes in Human System, 1969).
1. Strategi rasional-empiris. Asumsi dasar dari strategi ini adalah bahwa manusia mempunyai penalaran rasional dan akan mengikuti kepentingan sendiri jika telah menyadarinya. perubahan itu diusulkan oleh manajemen berdasarkan pengetahuan tentang manfaat dan kebutuhan dari orang-orang yang akan dipengaruhi perubahan-perubahan itu. Karena orang-orang yang menjadi karyawan itu rasional dan motivasinya adalah memajukan kepentingan pribadinya, maka jika logika dari perubahan dapat diterima pembaharuan itu juga akan diterima dan dijalankan. Strategin ini mementingkan komunikasi yang baik dengan guru dan karyawan. Diskusi, dialog, pembentukan komite yang mengikutkan semua pihak merupakan bagian penting dari strategi ini.
2. Strategi Reedikatif-Normatif. Dasar pemikiran strategi ini adalah bahwa tingka laku atau tindakan manusia diarahkan oleh norma-norma sosial budaya dan keterkaitannya dengan norma-norma itu. Jadi perubahan itu tidak hanya diterima oleh penalaran intelektual atau secara kognitif saja tetapi juga pada tingkat yang lebih pribadi seperti kebiasaan, sikap dan nilai-nilai.
Ada dua cara pendekatan untuk strategi ini :
a. Mendorong kemampuan pemecahan masalah pada staf melalui organisasi, kelompok kerja atau bentuk-bentuk lain dalam sistem.
b. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan orang-orang yang ada di dalam organisasi melalui latihan, pendidikan, seminar dsb, karena individu itu dianggap sebagai elemen dasar bagi organisasi. Jika mereka meningkat, organisasi. Jika mereka meningkat, organisasinya juga akan meningkat.
3. Strategi tekanan kekuasaan. Dasar pemikirannya adalah bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih rendah akan mengikuti kehendak orang-orang yang kekuasaannya lebih tinggi. Tingkat kekuasaan itu dapat diakui tingkat intelektualnya melalui kebijakan organisasi atau secara informal atas dasar pengetahuan senioritas atau kelebihan-kelebihan pribadinya.
Melakukan perubahan dengan peraturan, kebijakan atau hukuman fisik maupun mental merupakan hakiki dan srategis. Namun perlu diingat bahwa melakukan perubahan melalui paksaaan atau karena takut terhadap hukuman memerlukan pengawasan yang ketat. Jika pimpinan tidak ada di tempat, bawahan akan kembali kepada perilaku lama. Lagi pula perlawanan tekanan kekuasaan yang terlalu besar akan menimbulkan perlawanan dari bawahan yang dapat mengganggu jalannya sebuah organisasi.
Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan bermutu bagi masyarakat. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator yang mewakili berbagai kelompok berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan mutu total (total quality management) dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan mutu total yaitu;
Perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional.
Sistem kompetisi akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri. Sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua sember daya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu.
D. PENUTUP
Kebijakan strategi pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah merupakan faktor penentu dalam mencapai keberhasilan mutu pendidikan. Khususnya mutu keberhasilan belajar siswa. Baik mutu hasil belajar yang berupa output dengan ditandai kelulusan siswa dalam menyelesaikan program pembelajaran dengan nilai prestasi yang memuaskan. Maupun mutu hasil belajar berupa outcame yaitu alumni sekolah dapat diterima dengan baik oleh dunia usaha sebagai tenaga kerja bermutu, juga alumni dapat diterima oleh pendidikan lanjutan baik sekolah maupun perguruan tinggi bermutu.
Oleh karena itu penguatan otonomi sekolah amat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Juga penguatan faktor kepala sekolah yang memiliki kompetensi memadai bukan hanya dalam kompetensi kepemimpinan, juga kompetensi visi akademis dalam membawa sekolah menuju mutu pendidikan sebagaimana diharapkan oleh stakeholder.
* GURU TIK SMA NEGERI 1 TENGARAN KABUPATEN SEMARANG DAN PENYELENGGARA KELOMPOK BERMAIN BENTARA SALATIGA
** PENGELOLA DAN KEPALA KELOMPOK BERMAIN SALATIGA
DAFTAR PUSTAKA
Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, 1993, Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman Publishing, London, United Kingdom.
Chapman, Judith (ed), 1990, School-Based Decision-Making and Management, The Falmer Press, Hampshire, United Kingdom.
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
______, 1998, Upaya Perintisan Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, 1994, Benchmarking : A signpost to Excellence in Quality and Productivity, John Wiley and Soons, New York, USA.
P. Costa, Vincent, dkk. Panduan Pelatihan untuk Pengembangan Sekolah, 2000. Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Jakarta.
Pascoe, Susan and Robert, 1998, Education Reform in Australia: 1992-97 (a Case Study), The Education Reform and Management Series, Education-World Bank, Australia.
Roger,Everett M.,1995, Diffusion of Innovations, The Free Press, New New York, USA.
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta.
Suseno, Muchlas, 1998, Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl), Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta
Tim Teknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.
Victorian's Departement of Education, 1997, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria, Melbourne, Australia...., 1998, How Good is Our School: School Performance for School Councillors, Education Victoria, Melbourne, Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar