Oleh: Maria Dolvianti Bora
Pengelola KB Bentara Salatiga
A. Pendahuluan
Era globalisasi yang serba cepat, terbuka, disertai adanya persaingan bebas, terutama melalui media informasi menyebabkan serasa tidak ada jarak, baik waktu maupun tempat. Peristiwa di kota-kota, bahkan di negara-negara lain dengan mudah dan cepatdapat diakses oleh seluruh masyarakat. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi pola hidup yang cenderung materialistik dan individualistik serta lunturnya budaya kebersamaan dalam gotong royong.
Akibatnya mulai sulit ditemukan sopan santun dan kepedulian sosial. Gaya hidup konsumeristik dengan kemewahan merupakan fenomena umum yang dapat menyebabkan cara pencapaiannya melalui jalan pintas. Maka untuk membentengi keluarga-keluarga tersebut, cara tepat adalah dengan pendidikan agama, budi pekerti dan sikap mental yang dimulai dari keluarga.
Pendidikan sangat penting dilaksanakan sebagai dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh yaitu untuk pembentukan karakter, budi pekerti luhur, cerdas, ceria, terampil dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan anak pada tahun-tahun pertama sangat penting dan akan menentukan kualitasnya di masa depan. Anak adalah individu yang unik, berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Perkembangan pribadi manusia meliputi beberapa aspek perkembangan fisiologis, psikologis, sosial dan didaktis/pedagogis. Tahap-tahap perkembangan tersebut tidak sama. Berikut ini dikemukakan tahap-tahap perkembangan pada tiap-tiap aspek secara umum.
a. Tahap-tahap perkembangan fisiologis
Perubahan fisiologis adalah perubahan kualitatif terhadap struktur dan fungsi-fungsi fisiologis. Menurut Sigmund Freud seorang psikoanalis dengan pandangannya menekankan, bahwa kehidupan pribadi manusia pada dasarnya adalah “libido seksualis”. Beliau mengemukakan pendapatnya bahwa pribadi manusia mengalami perkembangan dengan dinamika yang tidak stabil sejak manusia dilahirkan sampai usia 20 tahun. Perkembangan dari lahir sampai usia 20 tahun ini menurut Freud menentukan bagi pembentukan pribadi manusia.
b. Tahap-tahap perkembangan psikologis
Menurut Jean Jacques Rousseau (1712-1778), perkembangan fungsi dan kapasitas kejiwaan manusia berlangsung dalam 5 tahap, sebagai berikut :
1. Tahap perkembangan masa bayi (sejak lahir-2 tahun).
2. Tahap perkembangan masa kanak-kanak (2 s/d 12 tahun).
3. Tahap perkembangan pada masa preadolosen (12 tahun-5 tahun)
4. Perkembangan pada masa adolosen (15 – 20 tahun)
5. Masa pematangan diri (setelah umur 20 tahun)
c. Tahap-tahap perkembangan secara pedagogis.
Mengenai pembagian tahap perkembangan pribadi manusia bila ditinjau dari sudut tinjauan teknis umum penyelenggaraan pendidikan. Menurut Jhon Amos Comenius (1952), dibagi menjadi 5 tahap, yaitu :
1. Tahap enam tahun pertama
2. Tahap enam tahun kedua
3. Tahap enam tahun ketiga
4. Tahap enam tahun keempat
5. Tahap kematangan pribadi
Mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi dari sudut tinjauan teknis khusus perlakuan pendidikan, secara otomatis dilandaskan pada tingkat perkembangan psikologis anak didik :
1. Tahap kematangan pribadi
2. Tahap perkembangan vital
3. Tahap perkembangan ingatan
4. Tahap perkembangan keakuan
5. Tahap perkembangan pengamatan
6. Tahap perkembangan intelektual
7. Tahap perkembangan pra-remaja
8. Tahap perkembangan remaja
B. Tantangan Keluarga Masa Kini
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh penemuan bayi di sebuah SMA di Surabaya. Orok yang masih merah tersebut ditemukan dalam keadaan mengenaskan, dengan tangan terikat, dan tak bernyawa lagi di sekolah tersebut. Bayi tanpa dosa tersebut dibunuh oleh sang ibu yang nota bene masih berstatus sebagai pelajar kelas X. Alasan pembunuhan ini pun mengundang kegetiran bagi kita semua.
Secara psikologis sang ibu belum siap menjadi seorang ibu, namun akibat dari ulahnya “bermain asmara” menyebabkan dirinya kalut sehingga mengambil jalan pintas yaitu “membunuh” bayi yang berasal dari rahimnya sendiri.
Pengguguran kandungan (aborsi) merupakan salah satu penyebab tingginya kematian ibu di Indonesia. Tragisnya, 15 % sampai 30% dari pelaku adalah remaja yang masih berstatus siswa SMP dan SMA. Jumlah kasus aborsi yang dilakukan remaja tercatat sebanyak 2,3 juta setiap tahun. Ini menunjukkan rentannya remaja terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan “asmara”.
Aborsi merupakan keputusan terakhir ketika remaja dihadapkan pada sebuah dilema, meneruskan kehamilan sambil membawa aib keluarga atau menghentikan kehamilan dengan cara membunuh calon jabang bayi yang tak berdosa di dalam kandungan. Uniknya, remaja yang kebablasan sampai akhirnya melakukan aborsi banyak dilakukan oleh mereka yang pendiam.
Menurut dr. Boyke Dian Nugraha, Sp.OG.,MARS, yang banyak mendatangi beliau untuk mengadu adalah gadis-gadis pendiam. Banyak orang tua menganggap, kalau penampilan anak wanitanya yang kalem dan pendiam, lantas merasa aman. Justru gadis seperti inilah yang sebelumnya jarang berpacaran, begitu berpacaran sering keblablasan.
Iman merupakan “rem” yang paling pakem dalam berpacaran. Penilaian tentang pasangan hendaknya dilakukan ketika masa pacaran tersebut. Calon pasangan yang baik adalah mereka yang mau menjaga kehormatan temannya hingga menjadi pasangan suami istri yang sah. Di sini peranan keluarga sangat penting dalam memberikan pendidikan moral, dan seks yang benar kepada anak sehingga terhindar dari tingkah laku yang merugikan diri dan keluarga tersebut.
C. Pentingnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi bagi remaja
Masih tingginya kasus aborsi pada remaja, sebagai akibat tidak adanya atau kurangnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi terhadap kaum remaja. Akibatnya, aborsi yang tidak benar itu menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu yang hingga sekarang menempati ranking tertinggi se-Asia Tenggara.
Untuk menjawab keingintahuan remaja tentang pendidikan seks dan alat reproduksi maka diperlukan pendidikan seks dan alat reproduksi bagi remaja. Apabila ini tidak dilakukan maka remaja sering mencaritahunya melalui internet, tayangan VCD porno atau buku-buku porno lainnya.
Dan disinilah menjadi akar dari persoalan yang berkaitan dengan pergaulan seks bebas remaja, aborsi dan semua tingkah yang menyimpang seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, sodomi, dan lainnya. Bila kita temukan hal tersebut siapa yang hendak dipersalahkan?
Memang tak dapat dipungkiri bahwa bagi budaya kita, pendidikan seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka dan transparan, namun dengan perkembangan informasi yang semakin pesat dan kecanggihan teknologi yang ada justru dapat pula menjerumuskan remaja dalam kehidupan seks yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Budaya permisif sebagai orang timur, memiliki dampak positif namun dalam kaitan dengan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Para orang tua di tuntut untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan tentang seks dan kesehatan reproduksi karena informasi yang benar dari orang tua akan menjadi kunci bagi remaja dalam memaknai arti seks dan menjaga alat reproduksi dengan baik.
Keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama bagi anak, tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan, maka orang tua dituntut pula untuk mau meluangkan waktu lebih banyak dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya.Dengan adanya pendidikan seks yang diterima dari keluarga, remaja memiliki pengetahuan yang memadai sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam pergaulan dengan teman sebayanya.
Komunikasi yang intens dalam keluarga, akan melahirkan jalinan atau relasi yang kuat antara satu dengan lainnya. Dalam jalinan relasi yang kuat ini, memunculkan rasa percaya satu dengan lainnya. Hal ini menjadi dasar bagi pendidikan moral. ahklak, agama bagi anak, karena landasan yang kokoh yang dibangun dalam suasana keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.
Konsep diri dan kepercayaan anak terhadap keluarganya akan memberikan peluang bagi anak untuk membuka diri terhadap pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Salah satu pendidikan yang penting bagi anak yaitu pendidikan seks dan kesehatan reproduksi tersebut.
Lain halnya yang terjadi pada siswi yang membunuh anaknya, dari pengakuan beberapa sahabatnya, siswi tersebut memiliki sikap yang pendiam. Ironisnya, bahwa sang ibu sama sekali tidak mengetahui anaknya sedang hamil. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan komunikasi dalam keluarga tersebut. Walau pun sering alasan yang dikemukakan sangatlah klise “orang tua sibuk mencari nafkah” dan “sangat percaya bahwa anaknya tidak mungkin berbuat di luar dari norma yang berlaku”, akhirnya kenyataan pahitlah yang diterima seperti kasus di atas.
D. Pendidikan agama sebagai landasan kokoh bagi remaja
Semua agama mengajarkan kebaikan dan perilaku yang bermoral. Aborsi karena alasan apapun sebenarnya dilarang oleh agama. Agar larangan tersebut tidak dilanggar maka pendidikan agama hendaknya menjadi prioritas utama dalam setiap keluarga Indonesia.
Seperti fenomena yang pernah menjadi pemberitaan hangat di negeri kita pada beberapa waktu lalu, tentang efek negatif dari adanya facebook. Terjadi beberapa kasus yang menimpa remaja misalnya kasus pelecehan seksual, penculikan bahkan pemerkosaan yang dilakukan oleh teman baru yang dikenal lewat facebook, kejadian ini membuat gerah dan khawatir orang tua yang memiliki anak remaja.
Bila diteliti lebih lanjut, siapakah yang bersalah dalam persoalan ini? Dunia yang semakin pesat berkembang ini telah membuat kalangan orang tua pun membuat pilihan yang salah dalam memfasilitasi anaknya. Dalam pengertian bahwa orang tua hanya memberikan fasilitas namun tidak di dukung dengan kontrol dan pendampingan sehingga ketika sang anak yang merasa diberi kesempatan dapat pula salah menggunakannya. Ketika akibat lanjutnya adalah hal-hal yang menyimpang seperti yang dikatakan di atas, barulah orang tua dapat membuka matanya akan kelalaian yang telah dilakukannya dalam mendidik anak.
Hal ini tidak terjadi bila anak dibekali dengan pendidikan agama yang memadai, dan adanya pendampingan yang serius dari orang tua melalui penyediaan fasilitas penyaluran bakat/hobi anak. Dengan penyaluran yang positif tersebut maka remaja memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya.
Terdapat 9 tips berdamai dengan remaja :
1. Memberi kepercayaan kepada remaja untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab dengan semua risikonya.
2. Dorong remaja untuk melakukan aktivitas sosial yang akan meningkatkan rasa percaya diri. Hal ini akan membuat remaja merasa dibutuhkan, dan berguna, sekaligus mengajarkan remaja untuk beramal.
3. Perlakukan remaja selayaknya sesuai dengan keberadaannya sebagai seorang remaja.
4. Jika remaja berbohong, maka beri kesempatan untuk dia meluruskan ceritanya, dengan demikian dia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, karena bila didesak maka remaja akan mempertahankan kebohongannya sulit memperbaiki kelakukan buruknya.
5. Ajarkan remaja untuk bersikap tidak berlebihan bila “dia” menyukai lawan jenisnya, agar terhindar dari segala hal yang dapat merugikan dirinya dan orang lain.
6. Beri bacaan yang serius. Pada usia 15-16 tahun, memiliki kemampuan berpikir tentang hal-hal yang abstrak dan kepekaan terhadap sesuatu berkembang pesat. Remaja sudah siap memikirkan masalah-masalah yang serius seperti sosial dan mempertanyakan nilai-nilai moral secara mendalam.
7. Buatlah secara bersama peraturan dan jadwal kegiatan sehari-hari di dalam keluarga dengan hukuman yang tegas bila peraturan tersebut dilanggar.
8. Tidak ada remaja yang 100% berperilaku sesuai dengan aturan yang telah di buat bersama. Bila remaja melakukan pelanggaran dari aturan tersebut maka berilah pengertian agar remaja mau menerima konskuensi dari pelanggarannya secara sadar bila dia melakukan kesalahan yang sama di lain waktu.
9. Ajari remaja sejak dini menyangkut disiplin dan nilai-nilai etika serta agama sesuai dengan keyakinan yang dianut, jika hal ini dilakukan sejak dini maka keruwetan persoalan ketika anak mencapai usia remaja dapat dihindarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawai, Luluk, dkk. Pengelolaan Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta : Universitas Terbuka, 2008.
Gemari/Edisi 42. Tahun V/Juli 2004.
Gemari/Edisi 62/Tahun VII-Maret 2006.
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar