Seorang sahabat pernah mengirim surat elektronik (e-mail) yang mengharukan tentang telinga seorang ibu. Dikisahkan, seorang ibu yang baru melahirkan sangat terkejut ketika melihat bayi laki-laki yang baru dilahirkannya tidak memiliki daun telinga. Untunglah, bayi itu masih memiliki fungsi pendengaran yang sempurna. Tidak ada yang dapat dilakukan orang tua bayi selain menerima takdir bahwa anak mereka yang pertama tidak memiliki kedua daun telinganya.
Hari berganti hari, waktu terus bergulir, si anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mampu bergaul dengan teman-teman sebayanya. Pelajaran di Sekolah pun tidak menjadi masalah untuk diikutinya. Namun satu hal yang mengganggu adalah sindiran teman-temannya yang mengatakan bahwa dia manusia planet, ada lagi yang mengatakan dia adalah titisan dewa langit karena tidak bertelinga, bahkan ada yang melecehkannya supaya nanti besar bekerja di Star Trek saja. Sindiran-sindiran itu jelas menyakitkan hatinya. Tidak jarang dia pulang ke rumah dalam keadaan menangis dan masuk dalam pelukan ibunya. Sang ibu dengan ketabahan yang luar biasa terus memotivasi si anak untuk mengembangkan potensinya dan meraih prestasi yang gemilang hingga duduk di bangku perguruan tinggi.
Hingga suatu kali, seorang dokter yang dikenal oleh keluarga itu mengatakan bahwa si anak yang sudah tumbuh dewasa ini dapat menerima cangkok daun telinga, dan cangkokan ini sudah ada disimpan beberapa waktu lamanya dari seorang donor. Mendengar berita ini giranglah hati si anak, meskipun menyisahkan pertanyaan siapakah yang telah mendonorkan telinganya untuk dirinya. Operasi cangkok pun berjalan lancar, dan suatu perubahan penampilan dalam diri anak ini terjadi, rasa percaya dirinya semakin meningkat seiring dengan prestasi yang ia raih. Hal sekaligus mempercepat penyelesaian studi dan pencarian kerja.
Setelah ia menyelesaikan studi dan bekerja sebagai diplomat serta membangun keluarga yang kemudian dikaruniai 2 orang anak, ternyata rasa penasaran tentang siapa pemberi daun telinga kepadanya belum juga terjawab. Kepada sang ayah hal ini sering ia tanyakan, namun sang ayah tetap mengatakan, “Suatu saat kau akan tahu, nak!”
Hingga tibalah saat yang paling menyedihkan menimpa keluarga ini, sang ibunda tercinta meninggal dunia karena sakit. Rasa kehilangan yang tidak terhingga dirasakan oleh sang anak tunggal ini, masih terbayang dalam dirinya ketika dia diejek oleh rekan-rekannya, ibunyalah yang menguatkannya. Ibunya pula yang mendorong dirinya untuk selalu menunjukkan prestasi gemilang dengan tidak melupakan berbagi pada sesama dan tetap bergantung pada ke-Maha Kuasa-an Pencipta. Namun, kenangan itu tinggal kenangan, sang ibu tercinta telah pergi untuk selama-lamanya. Saat akan memberikan ciuman terakhir pada jasad si ibu, dengan didampingi sang ayah, si anak sempat terkesima ketika menyibakkan rambut ibunya. Ternyata ibunya tidak memiliki telinga. Teka-teki yang selam ini mengganjal dalam batinnya pun terjawab sudah. Pantaslah, jika bertahun-tahun belakangan ini sang ibu selalu berkata bahwa ia lebih suka memanjangkan rambutnya. Rupanya, ia tidak ingin si anak tahu jika donor daun telinga itu adalah ibunya sendiri.
Kasih ibu sepanjang jalan dan tidak terbatas pada sesuatu. Tidak heran terkadang penghormatan bagi seorang ibu melebihi penghormatan kepada bapak. Namun popularitas penghormatan tersebut biasanya tidak semegah jika sang bapak yang menerimanya. Dalam sebutan lain, ibu adalah “penolong” yang sepadan bagi seluruh anggota keluarga. Lihatlah seorang wanita yang berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karier, tentu memiliki karakteristik manajemen waktu yang unik. Demikian pula halnya seorang wanita yang memiliki status orang tua tunggal bagi anak-anaknya, sudah barang tentu memiliki cara tersendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Bagi ibu rumah tangga, pekerjaan mengelola rumah dan menolong keluarga merupakan panggilan (calling) untuk memenuhi mimbar kehidupannya. Suasana rumah akan terasa berbeda dan kering ketika rumah tersebut telah ditinggal ibu untuk selama-lamanya. Ibu memberikan warna dan dinamika yang proporsional dalam mendampingi suami membawa bahtera rumah tangga mengarungi kehidupan ini.
Namun, di sela-sela fungsi dan keberadaan ibu yang sangat penting tersebut, masih banyak dijumpai perlakuan-perlakuan yang tidak pantas mereka terima, baik dari anak sendiri maupun suami. Bahkan, terkadang cap “lemah” dibandingkan pria, yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ibu sering kali membuat sang ibu semakin kuat daya tahan mentalnya dalam menghadapi gelombang kehidupan, khususnya permasalahan-permasalahan rumah tangga. Sekalipun di antara ibu-ibu saat ini lebih banyak yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga daripada merangkap sebagai wanita karier, namun justru merekalah yang menjadi penopang yang tangguh untuk tetap berdirinya rumah tangga dengan kokoh. Bilka kita sekedar memperingati hari ibu atau memeriahkan ulang tahunnya, tentu tidaklah cukup untuk menghargai mereka. Kasih yang melimpah dengan ketulusan, perhatian, dan dukungan kepada mereka inilah yang memiliki nilai yang tinggi.
Sekalipun dengan presentasi yang sangat kecil, memang nyaris terdengar segelintir ibu yang kurang memahami peran dan tugasnya sebagai seorang ibu. Sebagian ibu lebih banyak memberikan “mulut”nya ketimbang telinga yang mau mendengarkan permasalah, cerita-cerita, atau keluhan anaknya. Segelintir ibu lebih senang memberikan “asesoris telinga”nya daripada hati yang terbuka untuk menerima kelebihan dan kekurangan anak-anaknya. Bahkan seorang ibu lebih senang memberikan “telinga baby sitter (pengasuh)” kepada anaknya daripada waktunya untuk bercengkerama dengan anak dan keluarga.
Sungguh besar peran ibu dalam membangun mental dan spiritual anak-anak. Ada satu nasihat penting dari Dorothy Law Nolte yang patut kita simak, “Kalau seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum. Kalau seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan. Kalau seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu. Kalau seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Kalau seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Kalau seorang anak hidup dengan dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan. Kalau seorang anak hidup dengan ketentraman, ia belajar tentang iman. Kalau seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri. Kalau seorang anak hidup dengan penerimaan serta persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia.@@@ ““Half Full – Half Empty” – Setengah Isi Setengah Kosong-Parlindungan Marpaung-halaman 51-56)”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar