Salam

Selamat datang di blog tercinta paud KB Bentara Salatiga. Menyajikan berbagai informasi tentang pendidikan anak usia dini kelompok bermain Bentara Salatiga. Terima kasih. Pengelola

Arsip

Rabu, 01 Juni 2011

BERLIAN

 Oleh : Maria D. Bora,  Pengelola KB Bentara Salatiga



Suasana kota Salatiga bermandi sinar mentari, setelah beberapa hari sebelumnya diselimuti kabut disertai gerimis. Kota tua nan unik, usianya yang menginjak 1261 tahun tidak menghapus keelokkannya. Aku berdiri terpaku menatap gerbang berujung lancip di depanku. Rumah kuno di seberang jalan peninggalan Belanda, berdiri membisu, menatapku penuh cemoohan. Pohon yang berdiri di depannya mengibaskan dedaunnya seolah menyapaku yang ragu. Tas ku pegang erat seolah takut akan di rampas penjahat. Hm…. Pikiran aneh…. Di kota kecil ini hal tersebut belum pernah terjadi, perampasan atau penjambretan. Mentari yang bersinar membuatku bertambah kikuk. Mataku tak lepas memandang daun pintu rumah eh.. tepatnya gedung bercat putih dari seberang tempatku memandang.
Sesekali aku melirik jarum jam yang terus berjalan, sekarang pukul 08.00 WIB berarti sudah 2 jam aku berada di tempat ini. Degup jantungku terasa cepat. Krek ….. bunyi gerbang rumah di buka membuyarkan keraguanku. Pintu gerbangnya kini terbuka lebar di hadapanku. Namun kakiku terasa terpaku di trotoar jalan Patimura.
Di seberang sana, seorang suster berkerudung strip-strip biru seperti Beata  Teresa dari Calcuta menggendong seorang bayi mungil, penuh kasih sayang dia mendekap bayi dalam gendongannya. Tangannya sebelah menuntun seorang anak lelaki kira-kira berumur 2 tahun.
Tuhan… itu anakku… naluriku mengatakan demikian. Bayi berumur 1 tahun tersebut tersenyum manis ketika sang suster menggendong bayi tersebut di depan dadanya, tepatnya menghadap ke arahku. Hm… GR…. Tak kuasa  aku melihat tangan mungil itu, menggapai-gapai jubah sang biarawati yang sekarang telah menjadi ibunya. Ya… tepatnya ibu dari anakku, yang lahir dari rahimku.
Mereka bercanda riang,  sesekali terdengar gelak tawa dari mulut mungil itu. Hatiku semakin teriris. Dia bayiku… di depan mataku namun… aku tak dapat menggapainya. Kerongkongan terasa tercekat, ingin kuteriak memanggil namanya namun…. Aku tak berani mengusiknya, cukup sekali aku membuatnya menangis…. Aku tak ingin buah hatiku terluka untuk kedua kalinya.
Air mataku bergulir satu persatu….  Aku tidak kuat berdiri terlalu lama memperhatikan separuh jiwaku sedang tertawa riang dalam balutan kasih sayang sang suster. Bayiku…. Berbaju pink, bersepatu pink dan berbando pink, dia sangat cantik…. Cerminan diriku sewaktu bayi seperti foto yang terselip dalam dompetku.
Aku kembali ke dalam mobil, aku tak ingin menjadi bahan tontonan orang yang lewat.
Eak… eak… suara itu masih terngiang di telingaku. Terburu-buru aku memasuki pintu gerbang itu, bayiku terbungkus dalam selimutnya yang lembut. Tekadku sudah bulat, aku ingin dia hidup, tapi…. Aku belum sanggup mengurusnya. Prosesnya begitu cepat, akhirnya bayiku diasuh dan dirawat penuh kasih oleh para biarawati ini. Suara tangis protesnya selalu mengiang di telingaku, wajahnya yang cantik, selalu terbayang setiap saat. Saat itu aku khilaf, aku tak dapat membawanya ke mana kakiku melangkah mencari sesuap nasi. Biarkan ada yang merawat dan mengasuh anakku.

‘Tidak… dia bayiku… aku akan menemuinya….,” tekad hatiku….
Dengan langkah gontai ku dekati mereka. Suaraku parau memanggil nama bayiku.
“Berlian ….”
Sang suster terkejut. Dipandangnya aku sesaat.
“Maaf, anda ibunya Berlian ‘kan,?” tanyanya seakan tak percaya.
Aku hanya mengangguk lesuh. Aku tak berani menatap mata kecil yang sedang  menatapku. Tangannya yang mungil menggapai tanganku.
“Berlian…. Maafkan mama….”
Tangisku pecah tak terbendung. Bayiku ku dekap.
“Terima kasih suster, telah merawat dan mengasuh anakku, aku tak ingin kehilangan dia lagi”
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar