Salam

Selamat datang di blog tercinta paud KB Bentara Salatiga. Menyajikan berbagai informasi tentang pendidikan anak usia dini kelompok bermain Bentara Salatiga. Terima kasih. Pengelola

Arsip

Kamis, 26 Mei 2011

SURAT UNTUK ANAK-ANAKKU (3)

Selamat bertemu anak-anakku sayang….
Semalam Oma menelpon, Oma sangat bahagia karena panennya melimpah. Sawah yang digarap bersama Opa menghasilkan padi yang banyak. Semua rasa lelah, terbayar dengan tumpukkan padi di gudang yang menggunung. Untuk mereka yang sudah menolong saat panen diberi masing-masing tiga karung padi. Sawah yang sudah selesai dipanen dipinjamkan kepada tetangga yang sering menjaga sawah ketika Oma dan Opa pulang ke kampung. Mereka menanam kacang hijau di sawah Oma. Mereka saling berbagi, saling meminjamkan tanpa ada hitam di atas putih, intinya terjalin hubungan mutualisme.
Anak-anakku….. yang dipinjam adalah sawah yang nota bene adalah tempat sumber penghasilan Oma, semuanya berdasarkan pada satu kata “kasih”. Tanpa “kasih”, hal tersebut dikatakan mustahil, dan konyol. Apakah Oma tidak takut humus sawahnya habis? Dengan menanam kacang hijau, maka akan menyebabkan terkurasnya hara sawah yang dapat mengurangi produktivitas sawah? Jawabannya sangat sederhana “Tidak”.
“Apakah kamu sudah begitu modern dan individual sampai berpikiran sedemikian picik? Oma balik bertanya penuh rasa heran. Pertanyaan yang sungguh simpel sesimpel jawabannya.
Terlintas kembali kejadian puluhan tahun lalu. Udara desa begitu dingin menggigit. Lampu minyak tanah meliuk redup ditiup angin malam, yang menerobos dinding pelupu dapur. Oma duduk memasak di depan tungku yang berasap tebal. Kayu yang sore tadi kami kumpulkan dari kebun agak basah, hal ini amat merepotkan kami semua. Sambil menunggu nasinya matang, tak lupa Oma mendongeng untuk kami. Semua anak-anak yang sudah sekolah duduk bertekuk lutut di pojok dapur menahan hawa dingin, anak-anak yang masih kecil  duduk bersandar di dinding mendengarkan dongeng. Ade yang terkecil, tertidur lelap di atas bale-bale dapur berselimut merah kusam.
Dan dongeng dari Oma, selalu menarik dan sangat panjang, hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 21.00 WITA, dan saat itu semua masakan telah siap untuk disantap. Luar biasa….. perut yang keroncongan terasa kenyang ketika mendengar dogeng yang begitu menyentuh hati. Dongengnya berjudul “Si Pandir dan Si Brewok”.
Sepenggal ceritanya begini …..
 Si Pandir tanpa rasa takut menyerahkan kambing yang digiringnya  kepada penyamun.
“Kemana kambingmu, Pandir?” Tanya sang ayah.
“Saya pinjamkan kepada si Brewok,” jawab Pandir.
“Aduh…. Kambing satu-satunya, kau berikan juga pada si Brewok?” suara ayah Pandir terdengar seram.”
“Kata ayah, kita boleh meminjamkan milik kita kepada yang membutuhkan,” jawab Pandir, tangannya sesekali memainkan gasing di tanah.
“Besok pagi aku diminta Brewok untuk mengambil hadiah di tepi hutan, di bawah pohon beringin,” lanjut Pandir tanpa perasaan bersalah.
“Pandir… Pandir…. Mengapa kamu selalu percaya pada si Brewok, padahal dia sering menipumu” gumam ayah Pandir sambil berlalu.
Pandir melanjutkan permainannya tanpa menghiraukan ayahnya yang sedang dilanda gundah.
Keesokan harinya.
“Ayah… ayah …. Ini hadiahnya,” teriak Pandir dari ujung jalan setapak. Pandir berlari-lari menenteng sebuah bungkusan besar. Tubuhnya yang kurus kelihatan sempoyongan karena berat beban yang dipikulnya.
Ayahnya hanya melongok dari jendela. Rumah Pandir adalah satu-satunya rumah panggung yang masih tersisa di kampung Wukak. Keluarga Pandir tergolong keluarga yang serba kekurangan, sejak kehilangan ibunya tercinta, Pandir suka menyendiri dan murung. Walau agak “istimewa” namun semua orang kampung menyayangi Pandir. Dia suka menolong dan rajin, walau terkadang menjadi bahan olokan karena kenaifannya. Anak-anak kampung suka bermain dengan Pandir.
Pagi yang sepi, seketika menjadi gempar. Bungkusan yang di bawa Pandir ternyata berisi perhiasan emas dan permata. Rupanya si Brewok lari meninggalkan barang curiannya ketika dikejar prajurit kerajaan.
Brewok dan ayahnya membagikan sebagian perhiasan tersebut untuk orang kampung, kehidupan Pandir dan ayahnya pun perlahan-lahan berubah, mereka dapat merenovasi rumahnya dan membeli tanah untuk digarap. Sebuah akhir cerita yang bagus, Pandir dan ayahnya tidak kekurangan lagi, namun mereka tetap hidup bersahaja, seperti sedia kala.
“Kasih”, telah menunjukkan hikmahnya, bagi yang selalu berjalan dalam terang kasih Tuhan, maka pahala besar akan diperoleh, dan semuanya indah serta tepat pada waktunya.

Oleh :Maria D. Bora, Pengelola KB Bentara Salatiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar